November 28, 2024 | admin

Penyimpangan Demokrasi Terpimpin dalam Politik Luar Negeri

Penyimpangan Demokrasi Terpimpin dalam Politik Luar Negeri

Demokrasi Terpimpin, yang diterapkan pada era Presiden Soekarno (1959-1965), menjadi salah satu babak penting dalam sejarah politik Indonesia. Sistem ini menitikberatkan pengambilan keputusan pada pemimpin negara, dengan peran sentral yang dipegang penuh oleh Soekarno. Meskipun sistem ini bertujuan memperkuat stabilitas nasional, realisasinya justru menyimpang dari prinsip demokrasi dan nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945. Salah satu aspek yang terdampak secara signifikan adalah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Selama periode Demokrasi Terpimpin, beberapa keputusan Soekarno yang bersifat sepihak memengaruhi posisi Indonesia di mata dunia. Namun, langkah-langkah tersebut kerap kali dianggap sebagai penyimpangan, baik dari nilai dasar negara maupun prinsip politik luar negeri yang seharusnya dijalankan. Lalu, apa saja kebijakan-kebijakan kontroversial yang terjadi di masa itu? Berikut ulasannya.

Konsep Demokrasi Terpimpin dan Penyimpangannya
Demokrasi Terpimpin lahir melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri sistem Demokrasi Liberal dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi. Sistem ini didesain untuk mengatasi instabilitas politik saat itu, dengan memusatkan kekuasaan pada presiden. Sayangnya, dominasi penuh yang dimiliki Soekarno sering kali mengesampingkan prinsip musyawarah yang menjadi salah satu fondasi demokrasi Pancasila.

Penyimpangan Demokrasi Terpimpin dalam Politik Luar Negeri

Dalam konteks politik luar negeri, penyimpangan terlihat pada kebijakan yang cenderung otoriter. Keputusan-keputusan penting kerap dibuat tanpa melibatkan proses musyawarah yang memadai, baik dengan lembaga legislatif maupun pemangku kepentingan lainnya. Akibatnya, banyak kebijakan luar negeri yang dianggap bertentangan dengan prinsip bebas-aktif yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Keputusan-Keputusan Kontroversial Soekarno
Konfrontasi dengan Malaysia Salah satu kebijakan luar negeri yang mencolok pada era Demokrasi Terpimpin adalah konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno menolak pembentukan Federasi Malaysia, yang dianggap sebagai bentuk “neokolonialisme” oleh Inggris. Demi memperkuat sikap ini, Indonesia menggelar Operasi Dwikora, yang mencakup aksi militer di perbatasan. Langkah ini memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan dinilai melenceng dari prinsip perdamaian internasional.

Penarikan dari PBB Pada tahun 1965, Soekarno mengambil keputusan drastis dengan menarik Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bentuk protes terhadap masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kebijakan ini dianggap merugikan posisi Indonesia di kancah internasional, karena mengisolasi bangsa dari forum global yang strategis.

Poros Jakarta-Peking-Pyongyang Dalam era Demokrasi Terpimpin, Soekarno memperkuat hubungan dengan negara-negara komunis seperti China dan Korea Utara. Kebijakan ini menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat. Pendekatan sepihak ini menciptakan polarisasi yang tajam dalam politik luar negeri Indonesia, yang seharusnya bebas dan aktif tanpa memihak blok tertentu.

Konferensi Asia-Afrika Meskipun Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955) sering dianggap sebagai pencapaian besar, keberlanjutannya pada era Demokrasi Terpimpin mulai mengalami penyimpangan. Soekarno menggunakan forum-forum internasional untuk mengampanyekan gagasan revolusioner yang kerap bertentangan dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Dampak pada Citra Indonesia di Mata Dunia
Kebijakan luar negeri Soekarno selama Demokrasi Terpimpin memiliki dampak besar terhadap posisi Indonesia di panggung internasional. Di satu sisi, keberanian Indonesia dalam menentang neokolonialisme mendapat simpati dari negara-negara berkembang. Namun, di sisi lain, langkah-langkah kontroversial seperti penarikan dari PBB dan konfrontasi dengan Malaysia menimbulkan citra negatif. Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak konsisten dalam menjalankan prinsip perdamaian.

Ketergantungan pada aliansi dengan negara-negara komunis juga memicu kecurigaan dari negara-negara non-komunis, yang memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia secara luas. Akibatnya, pada akhir era Demokrasi Terpimpin, Indonesia mengalami isolasi internasional yang cukup berat.

Pelajaran dari Penyelewengan Kekuasaan Kepala Negara

Era Demokrasi Terpimpin memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menjalankan demokrasi dan politik luar negeri. Pemusatan kekuasaan pada satu individu, tanpa mekanisme checks and balances yang memadai, terbukti tidak sejalan dengan prinsip demokrasi Pancasila. Dalam konteks politik luar negeri, keputusan sepihak yang tidak berdasarkan musyawarah berpotensi merugikan bangsa.

Prinsip bebas-aktif seharusnya menjadi pedoman utama dalam menentukan arah kebijakan luar negeri. Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara memperjuangkan kepentingan nasional dan berpartisipasi dalam menjaga perdamaian dunia. Kesalahan pada masa lalu harus dijadikan refleksi untuk membangun politik luar negeri yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kesimpulan
Penyimpangan Demokrasi Terpimpin terhadap politik luar negeri Indonesia menyoroti pentingnya prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan strategis. Keputusan sepihak yang diambil oleh Soekarno selama era ini, seperti konfrontasi dengan Malaysia dan penarikan dari PBB, memberikan dampak besar terhadap posisi Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, era ini menjadi pengingat bagi bangsa untuk selalu berpegang pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam setiap kebijakan yang diambil, baik di dalam maupun luar negeri.

Share: Facebook Twitter Linkedin